Tembak Mati Para Koruptor. Pantaskah?
Korupsi di Indonesia ibarat sudah menjadi ‘menu favorit’ dalam pemberitaan berbagai media. Mengapa tidak, korupsi di negara kita ini memang sudah sangat merajalela. Ia dilakukan tidak lagi oleh perorangan namun sudah dilakukan secara kolektif, terorganisir dan sistematis. Jumlahnya pun sudah gila-gila-an, bahkan nilainya sudah tidak tanggung-tanggung hingga mencapai triliunan rupiah.
Terkait dengan hal ini, Mahfud Md, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana diberitakan melalui situs tempo.co mengatakan Indonesia harus mempunyai peraturan baru tentang hukuman bagi para
koruptor. Selama ini, kata beliau, hukuman bagi para koruptor tidak tegas dan tidak jelas. "Yang dihukum itu yang lagi apes aja, bukan benar-benar karena penegakan hukum," kata Mahfud kepada wartawan di gedung Rektorat Universitas Airlangga, Jumat, 14 Maret 2014.
Ditegaskannya pula oleh beliau, Indonesia tidak akan dapat memberantas habis para koruptor. Sebab, kebanyakan birokrat atau wakil rakyat merupakan pemain-pemain lama yang berpindah partai hanya untuk menutupi kasusnya. Karena itu, Mahfud mengharapkan hukuman bagi para koruptor adalah hukuman mati.
Ternyata, ini senada dengan keterangan Wiranto, Ketua Umum sekaligus Capres Partai Hanura, sebagaimana dilansir dalam situs resmi partainya. Wiranto mengusulkan pemberlakuan hukuman tembak mati bagi pelaku koruptor dan menolak kekuasaan pemerintahan dengan sistem dinasti (family system). Koruptor dan family system dalam pemerintahan dinilai menjadi biang keladi tak berkembangnya bangsa Indonesia akhir-akhir ini.
Apapun penafsiran tentang korupsi, kita tidak dapat menutup-nutupi fakta bahwa tindakan korupsi selama ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa sebagaimana perlakuan atas propaganda “ancaman terorisme”.
Jadi, pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat? Korupsi pajak, misalnya. Pajak kan uang rakyat yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat, menurut hemat penulis, pilihan hukuman mati untuk kasus ini bisa saja tidak dilakukan asalkan 240-an juta jiwa rakyat Indonesia telah dengan tulus menerima maaf atas uang pajak yang telah dikorupsi oleh pelakunya. Bagaimana pendapat Anda?
Terkait dengan hal ini, Mahfud Md, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana diberitakan melalui situs tempo.co mengatakan Indonesia harus mempunyai peraturan baru tentang hukuman bagi para
koruptor. Selama ini, kata beliau, hukuman bagi para koruptor tidak tegas dan tidak jelas. "Yang dihukum itu yang lagi apes aja, bukan benar-benar karena penegakan hukum," kata Mahfud kepada wartawan di gedung Rektorat Universitas Airlangga, Jumat, 14 Maret 2014.
Ditegaskannya pula oleh beliau, Indonesia tidak akan dapat memberantas habis para koruptor. Sebab, kebanyakan birokrat atau wakil rakyat merupakan pemain-pemain lama yang berpindah partai hanya untuk menutupi kasusnya. Karena itu, Mahfud mengharapkan hukuman bagi para koruptor adalah hukuman mati.
Ternyata, ini senada dengan keterangan Wiranto, Ketua Umum sekaligus Capres Partai Hanura, sebagaimana dilansir dalam situs resmi partainya. Wiranto mengusulkan pemberlakuan hukuman tembak mati bagi pelaku koruptor dan menolak kekuasaan pemerintahan dengan sistem dinasti (family system). Koruptor dan family system dalam pemerintahan dinilai menjadi biang keladi tak berkembangnya bangsa Indonesia akhir-akhir ini.
Apapun penafsiran tentang korupsi, kita tidak dapat menutup-nutupi fakta bahwa tindakan korupsi selama ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa sebagaimana perlakuan atas propaganda “ancaman terorisme”.
Jadi, pantaskah hukuman mati bagi mereka yang telah menguras uang negara dan menyengsarakan masyarakat? Korupsi pajak, misalnya. Pajak kan uang rakyat yang diperuntukkan untuk kepentingan rakyat, menurut hemat penulis, pilihan hukuman mati untuk kasus ini bisa saja tidak dilakukan asalkan 240-an juta jiwa rakyat Indonesia telah dengan tulus menerima maaf atas uang pajak yang telah dikorupsi oleh pelakunya. Bagaimana pendapat Anda?