Pengertian PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sebelum menguraikan pengertian PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, perlu diketahui bahwa istilah PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal UUPA.
Di dalam peraturan tersebut untuk pertama kalinya PPAT disebutkan sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah.
Dalam buku Hukum Agraria Indonesia yang ditulis Boedi Harsono, terbitan Djambatan, Jakarta, 2002, dikemukakan bahwa Pengertian PPAT dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Menurut A.P Parlindungan, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta otentik. (A.P Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bandung, 1989, Bagian I, hal. 131).
Sedangkan menurut pendapat lain, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. (Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 3)
Pengertian PPAT lebih ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 37/1998, Tgl 5 Maret 1998, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terdiri dari PPAT, PPAT Sementara, dan PPAT Khusus. Dikemukakan bahwa :
PPAT adalah Pejabat Umum yang diberik kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ; Biasanya jabatan ini dirangkap oleh Notaris.
PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
PPAT Khusus merupakan Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
Demikian pengertian PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan pendapat para ahli dan menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam peraturan tersebut untuk pertama kalinya PPAT disebutkan sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah.
Dalam buku Hukum Agraria Indonesia yang ditulis Boedi Harsono, terbitan Djambatan, Jakarta, 2002, dikemukakan bahwa Pengertian PPAT dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Menurut A.P Parlindungan, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah tetapi tidak digaji oleh pemerintah dan mempunyai kekuasaan umum artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta otentik. (A.P Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bandung, 1989, Bagian I, hal. 131).
Sedangkan menurut pendapat lain, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. (Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 3)
Pengertian PPAT lebih ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 yaitu PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 37/1998, Tgl 5 Maret 1998, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terdiri dari PPAT, PPAT Sementara, dan PPAT Khusus. Dikemukakan bahwa :
PPAT adalah Pejabat Umum yang diberik kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ; Biasanya jabatan ini dirangkap oleh Notaris.
PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
PPAT Khusus merupakan Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
Demikian pengertian PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan pendapat para ahli dan menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.