Sejarah dan Makna Hari Pendidikan Nasional
Sejarah dan Makna Hari Pendidikan Nasional – Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316/1959 tanggal 16 Desember 1959 ditetapkan hari-hari nasional bersejarah bagi bangsa Indonesia. Salah satunya ditetapkan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional. Ironisnya, peringatan hari pendidikan nasional secara efektif baru dilaksanakan tahun 1967 setelah Pak Harto menjabat Presiden RI.
Presiden Soeharto secara eksplisit menyatakan dalam pidatonya, “... pada hari ini, tanggal 2 Mei 1967, kita merayakan hari pendidikan nasional, untuk menyatakan penghargaan kita terhadap perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai Pahlawan Nasional yang telah memelopori suatu sistem pendidikan yang berdasarkan kepribadian dan kebudayaan nasional”.
Secara implisit yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei tersebut adalah tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara. Momentum pidato presiden tersebut mengakhiri tarik ulur penetapan hari pendidikan nasional dari sejumlah kalangan. Pernyataan tegas presiden Soeharto telah membuktikan betapa besar penghargaan pemerintah terhadap Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis dan peletak dasar sistem pendidikan nasional.
Kesaksian Prof Dr Sardjito dalam pidato pemberian gelar Doctor Honoris Causa Universitas Gadjah Mada kepada Ki Hadjar Dewantara adalah bukti otentik bahwa beliau adalah Perintis Perjuangan Pergerakan Nasional. “... sekarang dapat kami nyatakan, bahwa saudara Ki Hadjar Dewantara berjiwa sebagai perintis dalam 3 (tiga) lapangan, perintis kemerdekaan nasional, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan nasional diwujudkan dalam bentuk pendirian Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Mewujudkan sebuah lembaga nasional pada saat masih dalam cengkraman kekuasaan kolonial bukan saja tindakan sangat berani tetapi juga penuh resiko. Boro-boro mewujudkan, menggagas soal nasionalisme saja tidak banyak orang mau melakukannya.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Ki Hadjar Dewantara. Kebulatan tekadnya berdasarkan analisa dan pertimbangan matang, bahwa usaha mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah cukup hanya melalui pergerakan politik. Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat mencapai kemerdekaan apabila di dalam diri setiap anak bangsa itu tidak tumbuh jiwa merdeka.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental maupun spiritual. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, toleransi, kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, tanggungjawab serta disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Memang, sebelum Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa sudah ada usaha mencerdaskan anak-anak bangsa melalui pendidikan. Taruhlah RA Kartini, Wahidin Sudiro Husodo, Moch Syafei, KH Hasyim Ashari, KH Ahmad Dahlan, tokoh-tokoh pendidikan kristen, katolik dan pesantren adalah beberapa di antaranya. Tetapi yang menyebut nama dan dasar serta sistem nasional dan kemudian mewujudkan dan melaksanakan, belum ada. (Moch Tauchid, 1968, Ki Hadjar Dewantara Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional).
Kepeloporan Ki Hadjar Dewantara dalam merinstis pendidikan, tidak hanya dalam gagasan. Di tangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan nasional tidak sekadar nama, tetapi ia adalah makna. Dengan keberanian menanggung resiko, menempuh jalan baru melaksanakan gagasan pendidikan nasional itu. Seyogyanya ini menjadi pesan bagi setiap tenaga pendidik dalam mencari makna dalam sejarah hari pendidikan nasional.
Seberkas Makna Hari Pendidikan Nasional
Melalui hari pendidikan nasional, bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Inilah yang menjadi esensi makna hari pendidikan nasional yang setiap tahun diperingati.
Setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru sepatutnya tulus dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kebahagiaan peserta didiknya.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga penampilan (performance) seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Selain itu, ajaran Ki Hadjar Dewantara yang selalu dikenang dan menginspirasi setiap gerak dan langkah anak-anak bangsa yakni “tut wuri handayani” (di belakang memberi dorongan), “ing madya mangun karsa” (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan “ing ngarsa sung tulada” (di depan memberi teladan).
Demikian sejarah dan makna hari pendidikan nasional. Singkatnya, kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
Presiden Soeharto secara eksplisit menyatakan dalam pidatonya, “... pada hari ini, tanggal 2 Mei 1967, kita merayakan hari pendidikan nasional, untuk menyatakan penghargaan kita terhadap perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai Pahlawan Nasional yang telah memelopori suatu sistem pendidikan yang berdasarkan kepribadian dan kebudayaan nasional”.
Secara implisit yang dimaksud dengan tanggal 2 Mei tersebut adalah tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara. Momentum pidato presiden tersebut mengakhiri tarik ulur penetapan hari pendidikan nasional dari sejumlah kalangan. Pernyataan tegas presiden Soeharto telah membuktikan betapa besar penghargaan pemerintah terhadap Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis dan peletak dasar sistem pendidikan nasional.
Kesaksian Prof Dr Sardjito dalam pidato pemberian gelar Doctor Honoris Causa Universitas Gadjah Mada kepada Ki Hadjar Dewantara adalah bukti otentik bahwa beliau adalah Perintis Perjuangan Pergerakan Nasional. “... sekarang dapat kami nyatakan, bahwa saudara Ki Hadjar Dewantara berjiwa sebagai perintis dalam 3 (tiga) lapangan, perintis kemerdekaan nasional, perintis pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan nasional diwujudkan dalam bentuk pendirian Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Mewujudkan sebuah lembaga nasional pada saat masih dalam cengkraman kekuasaan kolonial bukan saja tindakan sangat berani tetapi juga penuh resiko. Boro-boro mewujudkan, menggagas soal nasionalisme saja tidak banyak orang mau melakukannya.
Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Ki Hadjar Dewantara. Kebulatan tekadnya berdasarkan analisa dan pertimbangan matang, bahwa usaha mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah cukup hanya melalui pergerakan politik. Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat mencapai kemerdekaan apabila di dalam diri setiap anak bangsa itu tidak tumbuh jiwa merdeka.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental maupun spiritual. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, toleransi, kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, tanggungjawab serta disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Memang, sebelum Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa sudah ada usaha mencerdaskan anak-anak bangsa melalui pendidikan. Taruhlah RA Kartini, Wahidin Sudiro Husodo, Moch Syafei, KH Hasyim Ashari, KH Ahmad Dahlan, tokoh-tokoh pendidikan kristen, katolik dan pesantren adalah beberapa di antaranya. Tetapi yang menyebut nama dan dasar serta sistem nasional dan kemudian mewujudkan dan melaksanakan, belum ada. (Moch Tauchid, 1968, Ki Hadjar Dewantara Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional).
Kepeloporan Ki Hadjar Dewantara dalam merinstis pendidikan, tidak hanya dalam gagasan. Di tangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan nasional tidak sekadar nama, tetapi ia adalah makna. Dengan keberanian menanggung resiko, menempuh jalan baru melaksanakan gagasan pendidikan nasional itu. Seyogyanya ini menjadi pesan bagi setiap tenaga pendidik dalam mencari makna dalam sejarah hari pendidikan nasional.
Seberkas Makna Hari Pendidikan Nasional
Melalui hari pendidikan nasional, bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Inilah yang menjadi esensi makna hari pendidikan nasional yang setiap tahun diperingati.
Setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru sepatutnya tulus dan rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kebahagiaan peserta didiknya.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga penampilan (performance) seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Selain itu, ajaran Ki Hadjar Dewantara yang selalu dikenang dan menginspirasi setiap gerak dan langkah anak-anak bangsa yakni “tut wuri handayani” (di belakang memberi dorongan), “ing madya mangun karsa” (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan “ing ngarsa sung tulada” (di depan memberi teladan).
Demikian sejarah dan makna hari pendidikan nasional. Singkatnya, kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.