Pengertian kawin lari pada suku bugis
Pengertian kawin lari pada suku bugis berikut ini merupakan kelanjutan penjelasan artikel berjudul apa itu kawin lari ?. Istilah kawin lari dalam masyarakat suku bugis dapat dijelaskan dalam tiga istilah kawin lari berikut ini:
1. Silariang
Pada dasarnya perkawinan silariang merupakan kehendak berdua laki-laki dan perempuan. Namun demikian persoalannya tetap menimbulkan siri bagi pihak tomasiri yang senantiasa mempunyai kewajiban menurut prosedur adat membunuh tau sala.
Selama belum melaksanakan maddeceng adalah perdamaian belum tercapai sebagai akibat larinya gadis bersama seorang pemuda pujaannya. Hal ini dipandang sebagai tantangan dan penghinaan terhadap kehormatan pihak keluarga perempuan tersebut, namun sebenarnya perginya seorang gadis bersama pria pujaan atas dasar kehendak berdua, tetapi pihak pemuda tetaplah dipersalahkan sehingga disebut sebagai pihak tau sala (Natsir Said, 1962:118).
Bahwa pihak To masiri mempunyai kewajiban untuk balas dendam,
yakni dengan jalan membunuh lelaki tersebut untuk dapat mengembalikan atau memulihkan kembali harga dirinya atau kehormatannya dalam masyarakat. Dan apabila To masiri” tidak berbuat sesuatu atas kejadian yang menimpa dirinya atau keluarganya atau diam seribu bahasa maka dianggap orang yang tidak punya harga diri atau kehormatan disebut To de sirina’, meskipun diketahui bahwa perginya seorang gadis adalah atas dasar kesepakatan berdua.
Sebagai tindakan balasan yang merupakan kewajiban untuk membunuh To sala dengan maksud untuk menegakkan kembali harga dirinya atau kehormatan adalah sejak gadis itu meninggalkan rumahnya pergi bersama laik-laki yang dicintainya sampai diadakannya perdamaian, tetapi kewajiban untuk membunuh pihak To masiri” terhadap To sala” dalam keadaan terdesak cukup membuang tutup kepala atau apa saja yang dipakainya baik baju ataupun sarungnya, kemudian masuk pekarangan rumah kepala adat, maka pada saat itupula toma siri tidak berhak membunuh tau sala.
Pada dasarnya perlindungan diri dari To sala oleh kepala adat di mana To sala mendapat hak untuk tidak dihukum atau dibunuh oleh To masiri dan perkaranya akan diselesaikan setelah diberikan sanksi atau hukuman dan raja atau kepala adat, maka pulihlah siri bagi keluarga gadis yang dipermalukan.
Dapat dikemukakan bahwa segala perbuatan yang dapat menimbulkan ketersinggungan terhadap harkat dan martabat manusia merasa terhina maka hal itu dinamakan siri, dengan siri inilah sehingga untuk menjaga dan mempertahankannya mendorong manusia untuk bertindak secara rasional maupun secara irasional.
2. Rilariang
Sesuai kenyataan yang sering terjadi dalam hidup dan kehidupan masyarakat Suku Bugis tentang perkawinan, maka kawin rilariang mempunyai kemiripan dengan kawin silariang. Hal ini dapat dilihat dari segi akibat yang ditimbulkannya yaitu keduanya menimbulkan siri bagi pihak keluarga sebagai pihak yang terkena siri atau sebagai pihak toma siri maka menurut hukum adat berkewajiban untuk menegakkan kembali harga dirinya. Sedangkan perbedaannya, adalah kawin silariang merupakan kehendak bersama antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kawin rilariang adalah bertentangan dengan kehendak gadis atau perempuan yang dibawa lari tersebut.
Ter Haar yang dikutip oleh (Andi Muin, 1990:164) silariang adalah terkadang lari dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, terkadang juga membawa lari perempuan dengan cara paksa.
(Bertling, 1994:37), membedakan kawin silariang dengan kawin rilariang. Kawin silariang adalah larinya seorang gadis dengan pemuda atas dasar kehendak bersama, sedangkan rilariang adalah larinya gadis atas dasar paksaan dan pemuda ataukah bertentangan dengan kehendak gadis.
Dapat dikemukakan bahwa pengertian kawin lari yang diistilahkan dengan rilariang adalah suatu perkawinan yang terjadi setelah seorang laki-laki melarikan seorang perempuan yang bertunangan atau kawin dengan cara paksa atau bertentangan dengan kehendak atau tidak disetujui antara kedua belah pihak, baik perempuan maupun pihak laki-laki.
Lebih lanjut, dikemukakan Bertling tentang sebab-sebab terjadinya
kawin rilariang:
3. Erangkale
Kawin erangkale adalah berasal dari kata Erang artinya bawa dan Kale berarti diri. Jadi erang kale berarti apabila gadis itu membawa dirinya kerumah pemuda, sehingga menimbulkan siri bagi keluarganya. (Natsir Said, 1992: 33)
Jika dilihat dan tata bahasanya, yakni erangkale terjadi dari suku kata yaitu erang artinya bawa dan kale artinya diri. Jadi erangkale adalah membawa diri. Oleh Chabot, menterjemahkan erangkale juga membawa diri (Bertling, 1994: 23).
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis dapat memberikan pengertian bahwa kawin erangkale adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah gadis dengan kemauannya sendiri membawa dirinya ke tempat kediaman pemuda atau laki-laki yang dicintainya.
Sebab terjadinya erangkale adalah:
Pada dasarnya akibat yang ditimbulkan erangkale hampir sama dengan kawin silariang atau rilariang, yakni adanya dua pihak yang bertentangan yakni pihak taumasiri, yang mempunyai kewajiban membunuh pihak tau sala dengan maksud untuk mempertahankan harga diri atau kehormatan sampai saat maddeceng (berdamai).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa erangkale timbul karena adanya perasaan siri dari pihak gadis atau perempuan dan erangkale
ini dilakukan oleh seorang gadis atas kemauan sendiri.
Itulah tiga istilah yang dapat kami share untuk memahami pengertian kawin lari khususnya dalam masyarakat suku bugis.
1. Silariang
Pada dasarnya perkawinan silariang merupakan kehendak berdua laki-laki dan perempuan. Namun demikian persoalannya tetap menimbulkan siri bagi pihak tomasiri yang senantiasa mempunyai kewajiban menurut prosedur adat membunuh tau sala.
Selama belum melaksanakan maddeceng adalah perdamaian belum tercapai sebagai akibat larinya gadis bersama seorang pemuda pujaannya. Hal ini dipandang sebagai tantangan dan penghinaan terhadap kehormatan pihak keluarga perempuan tersebut, namun sebenarnya perginya seorang gadis bersama pria pujaan atas dasar kehendak berdua, tetapi pihak pemuda tetaplah dipersalahkan sehingga disebut sebagai pihak tau sala (Natsir Said, 1962:118).
Bahwa pihak To masiri mempunyai kewajiban untuk balas dendam,
yakni dengan jalan membunuh lelaki tersebut untuk dapat mengembalikan atau memulihkan kembali harga dirinya atau kehormatannya dalam masyarakat. Dan apabila To masiri” tidak berbuat sesuatu atas kejadian yang menimpa dirinya atau keluarganya atau diam seribu bahasa maka dianggap orang yang tidak punya harga diri atau kehormatan disebut To de sirina’, meskipun diketahui bahwa perginya seorang gadis adalah atas dasar kesepakatan berdua.
Sebagai tindakan balasan yang merupakan kewajiban untuk membunuh To sala dengan maksud untuk menegakkan kembali harga dirinya atau kehormatan adalah sejak gadis itu meninggalkan rumahnya pergi bersama laik-laki yang dicintainya sampai diadakannya perdamaian, tetapi kewajiban untuk membunuh pihak To masiri” terhadap To sala” dalam keadaan terdesak cukup membuang tutup kepala atau apa saja yang dipakainya baik baju ataupun sarungnya, kemudian masuk pekarangan rumah kepala adat, maka pada saat itupula toma siri tidak berhak membunuh tau sala.
Pada dasarnya perlindungan diri dari To sala oleh kepala adat di mana To sala mendapat hak untuk tidak dihukum atau dibunuh oleh To masiri dan perkaranya akan diselesaikan setelah diberikan sanksi atau hukuman dan raja atau kepala adat, maka pulihlah siri bagi keluarga gadis yang dipermalukan.
Dapat dikemukakan bahwa segala perbuatan yang dapat menimbulkan ketersinggungan terhadap harkat dan martabat manusia merasa terhina maka hal itu dinamakan siri, dengan siri inilah sehingga untuk menjaga dan mempertahankannya mendorong manusia untuk bertindak secara rasional maupun secara irasional.
2. Rilariang
Sesuai kenyataan yang sering terjadi dalam hidup dan kehidupan masyarakat Suku Bugis tentang perkawinan, maka kawin rilariang mempunyai kemiripan dengan kawin silariang. Hal ini dapat dilihat dari segi akibat yang ditimbulkannya yaitu keduanya menimbulkan siri bagi pihak keluarga sebagai pihak yang terkena siri atau sebagai pihak toma siri maka menurut hukum adat berkewajiban untuk menegakkan kembali harga dirinya. Sedangkan perbedaannya, adalah kawin silariang merupakan kehendak bersama antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kawin rilariang adalah bertentangan dengan kehendak gadis atau perempuan yang dibawa lari tersebut.
Ter Haar yang dikutip oleh (Andi Muin, 1990:164) silariang adalah terkadang lari dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain, terkadang juga membawa lari perempuan dengan cara paksa.
(Bertling, 1994:37), membedakan kawin silariang dengan kawin rilariang. Kawin silariang adalah larinya seorang gadis dengan pemuda atas dasar kehendak bersama, sedangkan rilariang adalah larinya gadis atas dasar paksaan dan pemuda ataukah bertentangan dengan kehendak gadis.
Dapat dikemukakan bahwa pengertian kawin lari yang diistilahkan dengan rilariang adalah suatu perkawinan yang terjadi setelah seorang laki-laki melarikan seorang perempuan yang bertunangan atau kawin dengan cara paksa atau bertentangan dengan kehendak atau tidak disetujui antara kedua belah pihak, baik perempuan maupun pihak laki-laki.
Lebih lanjut, dikemukakan Bertling tentang sebab-sebab terjadinya
kawin rilariang:
- Bilamana pihak laki-laki atau pemuda telah datang melamar namun ditolak dengan alasan perbedaan dan mas kawin yang terlalu tinggi atau kemungkinan wanita itu telah dipertunangkan dengan pemuda lain.
- Biasanya terjadi penghinaan langsung kepada pihak laki-laki yang dianggapnya sebagai siri sehingga bagi laki-laki merasa dirinya malu di hadapan orang atau masyarakat.
3. Erangkale
Kawin erangkale adalah berasal dari kata Erang artinya bawa dan Kale berarti diri. Jadi erang kale berarti apabila gadis itu membawa dirinya kerumah pemuda, sehingga menimbulkan siri bagi keluarganya. (Natsir Said, 1992: 33)
Jika dilihat dan tata bahasanya, yakni erangkale terjadi dari suku kata yaitu erang artinya bawa dan kale artinya diri. Jadi erangkale adalah membawa diri. Oleh Chabot, menterjemahkan erangkale juga membawa diri (Bertling, 1994: 23).
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis dapat memberikan pengertian bahwa kawin erangkale adalah perkawinan yang dilangsungkan setelah gadis dengan kemauannya sendiri membawa dirinya ke tempat kediaman pemuda atau laki-laki yang dicintainya.
Sebab terjadinya erangkale adalah:
- Terjadinya hubungan cinta dengan seorang pemuda di mana seorang gadis atau perempuan mendengar kabar pemuda itu akan kawin dengan gadis lain, maka sebelum terjadinya pernikahan maka gadis pergi membawa diri ke rumah kepala adat atau imam, untuk menyampaikan bahwa ia harus dikawinkan dengan pemuda pujaannya. Walaupun sebenarnya pemuda itu tidak bertanggung jawab.
- Biasanya satu pesta perkawinan atau tempat keramaian, dimana seorang gadis merasa dipermalukan (ripakasiri) oleh seorang pemuda maka biasanya terjadi erangkale.
- Seorang perempuan yaitu telah diketahui berpecahan dengan seorang pemuda atau laki-laki yang telah dibicarakan di lingkungannya, sehingga perempuan merasa malu atas dirinya maka terjadi erangkale (Bertling, 1994:33).
Pada dasarnya akibat yang ditimbulkan erangkale hampir sama dengan kawin silariang atau rilariang, yakni adanya dua pihak yang bertentangan yakni pihak taumasiri, yang mempunyai kewajiban membunuh pihak tau sala dengan maksud untuk mempertahankan harga diri atau kehormatan sampai saat maddeceng (berdamai).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa erangkale timbul karena adanya perasaan siri dari pihak gadis atau perempuan dan erangkale
ini dilakukan oleh seorang gadis atas kemauan sendiri.
Itulah tiga istilah yang dapat kami share untuk memahami pengertian kawin lari khususnya dalam masyarakat suku bugis.